A. SEJARAH SINGKAT MOUNTAINEERING
Pendakian
gunung sebenarnya telah dilakukan oleh para nenek moyang kita yang
dimulai dengan bapak manuasia Nabi Adam AS yang menjelaj0061hi bukit
tursina untuk mencari cintanya Siti Hawa. Siti Hajar yang telah lintas
dari bukit marwah ke bukit Safa ditemani dengan sherpa JIBRIL untuk
mencari air bagi ismail yang lagi kehausan. Dan pendakian demi pendakian
hingga saat ini masih terus berlangsung dan kelak (tak lama lagi )
giliran kalian untuk melanjutkan amanah menjaga kelanggengan kemanusian.
Sejarah Dunia
- 1942 : Anthoine de Ville memanjat tebing Mont Aiguille (2907 m) di pegunungan alpen untuk berburu chamois (Kambing gunung)
- 1624 : Pastor pastor Jesuit, melintasi pegunungan himalaya dari gharwal di Iindia ke Tibet menjalankan tugas misionarisnya
- 1760
: Professoe de Saussure menawarkan hadiah besar bagi siapa saja yang
dapat menaklukkan puncak mont blanc guna kepentingan ilmiahnya.
- 1786 : Puncak tertinggi di pegunungan alpen Mont Blanc (4807 m) akhirnya dicapai oleh Dr. Michel Paccaro dan Jacquet Balmat.
- 1852:
Batu pertama jaman keemasan dunia keemasan di Alpen diletakkan oleh
Alfred Wills dalam pendakiannya ke puncak Wetterhorn (3.708 m), cikal
bakal pendakian gunung sebagai olah raga.
- 1852
: Sir George Everest, akhirnya menentukan ketinggian puncak tertinggi
dunia, dan di abadikan dengan namanya (8.848 m), orang Nepal menyebut
puncak ini dengan nama sagarmatha, orang tibet menyebutnya chomolungma.
- 1878
: Clinton Dent (bukan pepsoden) memnjat tebing Aigullie de dru di
perancis yang memicu trend pemanjatan tebing yang tidak terlalu tinggi
tetapi cukup curam dan sulit, banyak orang menganggap peristiwa ini
adalah kelahiran panjat tebing
- 1895
: AF Mummery orang yang disebut sebagai bapak pendakian gunung modern
hilang di Nanga Parbat (8.125 m), pendakian ini adalah pendakian pertama
puncak di atas ketinggian 8.000 m
- 1924 : Mallory dan Irvina mencoba lagi mendaki Everest, keduanya hilang di ketinggian sekitar 8.400 m
- 1953 : Pada tanggal 29 mei Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay akhirnya mencapai atap dunia puncak everest.
Sejarah Indonesia
- 1623 : Yan Carstenz adalah orang pertama melihat adanya pegunungan sangat tinggi, dan tertutup salju di pedalaman irian
- 1899 : Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz hampir 3 abad sebelumnya tentang “ … pegunungan yang sangat tinggi, di beberapa tempat tertutup salju!” di perdalaman Irian. Maka namanya diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian ternyata merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia.
- 1962 : Puncak Carstenz akhirnya berhasil dicapai oleh tim pimpinan Heinrich Harrer.
- 1964 : Beberapa pendaki Jepang dan 3 orang Indonesia, yaitu Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapai Puncak Jaya di Irian. Puncak yang berhasil didaki itu sempat dianggap Puncak Carstensz, sebelum kemudian dibuktikan salah. Puncak Eidenburg, juga di Irian, berhasil di daki oleh ekspedisi yang dipimpin Philip Temple. Dua perkumpulan pendaki gunung tertua di Indonesia lahir : Wanadri di Bandung Mapala UI di Jakarta, lalu di susul oleh perkumpulan perhimpunan pencinta alam lainnya mulai dari, MPA,SISPALA, KPA, ERNIPALA, MODIPALA dan sebagainya.
- 1972: Mapala UI, diantaranya adalah Herman O. Lantang dan Rudy Badil, berhasil mencapai Puncak cartenz. Mereka merupakan orang-orang sipil pertama dari Indonesia yang mencapai puncak ini.
B. PERENCANAAN PERJALANAN
B.1. PERSIAPAN DALAM SEBUAH PERJALANAN
1. Dapat berpikir secara logis.
Ini
adalah elemen yang terpenting dalam membuat keputusan selama pendakian,
dimana cara berpikir seperti ini lebih banyak mempertimbangkan faktor
safety atau keselamatannya.
2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Meliputi
pengetahuan tentang medan ( navigasi darat) ,cuaca dan teknik pendakian
, pengetahuan tentang alat pendakian atau pemanjatan dan sebagainya.
3. Dapat mengkoordinir tubuh kita.
koordinasi antara otak dengan anggota tubuh.
- Haruslah terdapat keseimbangan antara apa yang dipikirkan di
- Otak dan apa yang sanggup dilakukan oleh tubuh.
- Keseimbangan antara emosi dan kemampuan diri.
- Ketenangan dalam melakukan tindakan
- koordinasi antar anggota tubuh.
Ialah
keseimbangan dan irama anggota tubuh itu sendiri dalam membuat
gerakan-gerakan atau langkah- langkah ketika berjalan atau diam.
4. kondisi fisik yang memadai.
Ini
dapat dimengerti karena mendaki gunung termasuk dalam olahraga yang
cukup berat . Seringkali berhasil tidaknya suatu pendakian / pemanjatan
bergantung pada kekuatan fisik. Untuk mempunyai kondisi fisik yang baik
dan selalu siap maka jalan satu-satunya haruslah berlatih.
5. Berdoa
B.2.PERSIAPAN BAGI SEORANG PENDAKI GUNUNG
Untuk menjadi seorang pendaki gunung yang baik diperlukan beberapa persyaratan antara lain :
1. Sifat mental.
Seorang
pendaki gunung harus tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan dan
tantangan di alam terbuka. Tidak mudah putus asa dan berani, dalam arti
kata sanggup menghadapi tantangan dan mengatasinya secara bijaksana dan
juga berani mengakui keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
2. Pengetahuan dan keterampilan
Meliputi pengetahuan tentang medan, cuaca, teknik-teknik pendakian pengetahuan tentang alat pendakian dan sebagainya.
3. Kondisi fisik yang memadai
Mendaki
gunung termasuk olah raga yang berat, sehingga memerlukan kondisi fisik
yang baik. Berhasil tidaknya suatu pendakian tergantung pada kekuatan
fisik. Untuk itu agar kondisi fisik tetap baik dan siap, kita harus
selalu berlatih.
4. Etika
Harus
kita sadari sepenuhnya bahwa seorang pendaki gunung adalah bagian dari
masyarakat yang memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku yang
harus kita pegang dengan teguh. Mendaki gunung tanpa memikirkan
keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji, selain itu kita juga harus
menghargai sikap dan pendapat masyarakat tentang kegiatan mendaki
gunung yang selama ini kita lakukan.
C.PERLENGKAPAN
Untuk
perjalanan ilmiah dan kemanusiaan, bisa pula dikelompokkan berdasarkan
jenis medan yang dihadapi. Dari setiap kegiatan tersebut, kita dapat
mengelompokkan perlengkapannya sebagai berikut :
1. Perlengkapan dasar, meliputi :
o Perlengkapan dalam perjalanan / pergerakkan
o Perlengkapan untuk istirahat
o Perlengkapan makan dan minum
o Perlengkapan mandi
o Perlengkapan pribadi
2. Perlengkapan khusus, disesuaikan dengan perjalananan, misalnya
o Perlengkapan penelitian (kamera, buku, dll)
o Perlengkapan penyusuran sungai (perahu, dayung, pelampung, dll)
o Perlengkapan pendakian tebing batu (carabineer, tali, chock, dll)
o Perlengkapan penelusuran gua (helm, headlamp/senter, harness, sepatu karet, dll)
3. perlengkapan teknik
1. Tali (Rope)
Tali
yang dipergunakan dalam pendakian / pemanjatan tebing (climbing rope)
bersifat fleksible, elastis dan tahan terhadap beban yang berat.
Diameter tali berkisar antara 11, 10 dan 9 mm. Kemampuan menahan beban
berkisar antara 1.360 s/d 2.720 kg. Yang biasa digunakan ada dua jenis
yaitu : Hawser laid dan Kernmantel.
2. Helmet / Crash Hat
Berfungsi sebagai pelindung kepala terhadap benturan benda keras.
3. Harness
Tali tubuh yang berfungsi sebagai sabuk pengaman.
4. Carabineer
Carabineer
adalah cincin kait yang berbentuk oval atau D dan mempunyai gate /
pintu, terbuat dari allumunium alloy dan mempunyai kekuatan antara 1.500
– 3.500 kg. Carabineer ini ada dua jenis, yaitu : screw gate (berkunci)
dan snape gate (tidak berkunci).
5. Sling
Sling
terbuat dari webbing tubular. Panjang sekitar 1,5 m dengan lebar 2,5 cm
dibentuk menjadi sebuah loop (lingkaran) yang dihubungkan dengan simpul
pita.
4. PERLENGKAPAN PRIBADI
1.
Sepatu, ada beberapa tipe sepatu yang dirancang khusus untuk berbagai
jenis perjalanan. Sepatu yang baik adalah yang dapat memberikan
perlindungan bagi kaki dan cocok untuk jenis perjalanan.
2.
Pakaian, harus dapat melindungi si pemakai dari gangguan medan dan
cuaca. Meliputi pakaian untuk kepala, badan, tangan dan kaki.
3. Perlengkapan tambahan, meliputi bekal makanan / minuman, senter, pisau, perlengkapan menginap / tidur, dll.
5. Perlengkapan tambahan
Perlengkapan ini dapat dibawa atau tergantung evaluasi yang dilakukan (misalnya : semir, kelambu, gaiter, dll).
Mengingat
pentingnya penyusunan perlengkapan dalam suatu perjalanan, maka sebelum
memulai kegiatan, sebaiknya dibuatkan check-list terlebih dahulu.
Perlengkapan dikelompokkan menurut jenisnya, lalu periksa lagi mana yang
perlu dibawa dan tidak.
Apabila
perjalanan kita lakukan dengan berkelompok, maka check-list nya untuk
perlengkapan regu dan pribadi. Dalam perjalanan besar dan memerlukan
waktu yang lama, kita perlu menentukan perlengkapan dan perbekalan mana
saja yang dibawa dari rumah atau titik keberangktan, dan perlengkapan
atau perbekalan mana saja yang bisa dibeli di lokasi terdekat dengan
tujuan perjalanan kita.
D.PERENCANAAN PERLENGKAPAN PERJALANAN :
Keberhasilan
suatu kegiatan di alam terbuka juga ditentukan oleh perencanaan dan
perbekalan yang tepat. Dalam merencanakan perlengkapan perjalanan
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
1. Mengenal jenis medan yang akan dihadapi (hutan, rawa, tebing, dll)
2. Menentukan tujuan perjalanan (penjelajahan, latihan, penelitian, SAR,
3. Mengetahui lamanya perjalanan (misalnya 3 hari, seminggu, sebulan,
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan fisik untuk membawa beban
5. Memperhatikan hal-hal khusus (misalnya : obat-obatan tertentu)
Setelah
mengetahui hal-hal tersebut, maka kita dapat menyiapkan perlengkapan
dan perbekalan yang sesuai dan selengkap mungkin, tetapi beratnya tidak
melebihi sepertiga berat badan (sekitar 15-20 kg), walaupun ada yang
mempunyai kemampuan mengangkat beban sampai 30 kg.
Dari kegiatan penjelajahan, ada beberapa jenis perjalanan yang disesuaikan dengan medannya, yaitu :
1. Perjalanan pendakian gunung
2. Perjalanan menempuh rimba
3. Perjalanan penyusuran sungai, pantai dan rawa
4. Perjalanan penelusuran gua
5. Perjalanan pelayaran
Mendaki
gunung adalah suatu olah raga keras, penuh petualangan dan membutuhkan
keterampilan, kecerdasan, kekuatan serta daya juang yang tinggi. Bahaya
dan tantangan merupakan daya tarik dari kegiatan ini. Pada hakekatnya
bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri dan
untuk bisa menyatu dengan alam. Keberhasilan suatu pendakian yang sukar,
berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap
perjuangan melawan diri sendiri.
Di
Indonesia, kegiatan mendaki gunung mulai dikenal sejak tahun 1964
ketika pendaki Indonesia dan Jepang melakukan suatu ekspedisi gabungan
dan berhasil mencapai puncak Soekarno di pegunungan Jayawijaya, Irian
Jaya (sekarang Papua). Mereka adalah Soedarto dan Soegirin dari
Indonesia, serta Fred Atabe dari Jepang. Pada tahun yang sama,
perkumpulan-perkumpulan pendaki gunung mulai lahir, dimulai dengan
berdirinya perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung WANADRI di
Bandung dan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) di
Jakarta, diikuti kemudian oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya di
berbagai kota di Indonesia.
E.JENIS PERJALANAN / PENDAKIAN
Mountaineering
dalam arti luas adalah suatu perjalanan, mulai dari hill walking sampai
dengan ekspedisi pendakian ke puncak-puncak yang tinggi dan sulit
dengan memakan waktu yang lama, bahkan sampai berbulan-bulan.
Menurut kegiatan dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering terbagi menjadi tiga bagian :
1. Hill Walking / Fell Walking
Perjalanan
mendaki bukit-bukit yang relatif landai dan yang tidak atau belum
membutuhkan peralatan-peralatan khusus yang bersifat teknis.
2. Scrambling
Pendakian
pada tebing-tebing batu yang tidak begitu terjal atau relatif landai,
kadang-kadang menggunakan tangan untuk keseimbangan. Bagi pemula
biasanya dipasang tali untuk pengaman jalur di lintasan.
3. Climbing
Kegiatan
pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik khusus. Peralatan teknis
diperlukan sebagai pengaman. Climbing umumnya tidak memakan waktu lebih
dari satu hari.
Bentuk kegiatan climbing ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rock Climbing
Pendakian pada tebing-tebing batu yang membutuhkan teknik pemanjatan dengan menggunakan peralatan khusus.
b. Snow & Ice climbing
Pendakian pada es dan salju.
4. Mountaineering
Merupakan
gabungan dari semua bentuk pendakian di atas. Waktunya bisa
berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Disamping harus
menguasai teknik pendakian dan pengetahuan tentang peralatan pendakian,
juga harus menguasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan,
komunikasi, strategi pendakian, dll.
F. SISTEM PENDAKIAN
1.
Himalayan System, adalah sistem pendakian yang digunakan untuk
perjalanan pendakian panjang, memakan waktu berminggu-minggu. Sistem ini
berkembang pada pendakian ke puncak-puncak di pegunungan Himalaya.
Kerjasama kelompok dalam sistem ini terbagi dalam beberapa tempat
peristirahatan (misalnya : base camp, flying camp, dll). Walaupun hanya
satu anggota tim yang berhasil mencapai puncak, sedangkan anggota tim
lainnya hanya sampai di tengah perjalanan, pendakian ini bisa dikatakan
berhasil.
2.
Alpine System, adalah sistem pendakian yang berkembang di pegunungan
Alpen. Tujuannya agar semua pendaki mencapai puncak bersama-sama. Sistem
ini lebih cepat, karena pendaki tidak perlu kembali ke base camp,
perjalanan dilakukan secara bersama-sama dengan cara terus naik dan
membuka flying camp sampai ke puncak.
G. KLASIFIKASI PENDAKIAN
Tingkat
kesulitan yang dimiliki setiap orang berbeda-beda, tergantung dari
pengembangan teknik-teknik terbaru. Mereka yang sering berlatih akan
memiliki tingkat kesulitan / grade yang lebih baik dibandingkan dengan
mereka yang baru berlatih.
Klasifikasi pendakian berdasarkan tingkat kesulitan medan yang dihadapi (berdasarkan Sierra Club) :
Kelas 1 : berjalan tegak, tidak diperlukan perlengkapan kaki khusus (walking).
Kelas
2 : medan agak sulit, sehingga perlengkapan kaki yang memadai dan
penggunaan tangan sebagai pembantu keseimbangan sangat dibutuhkan
(scrambling).
Kelas 3 : medan semakin sulit, sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu, tetapi tali pengaman belum diperlukan (climbing).
Kelas 4 : kesulitan bertambah, dibutuhkan tali pengaman dan piton untuk anchor/penambat (exposed climbing).
Kelas
5 : rute yang dilalui sulit, namun peralatan (tali, sling, piton dll),
masih berfungsi sebagai alat pengaman (difficult free climbing).
Kelas
6 : tebing tidak lagi memberikan pegangan, celah rongga atau gaya geser
yang diperlukan untuk memanjat. Pendakian sepenuhnya bergantung pada
peralatan (aid climbing).
H. Pengelompokan Bahaya di Hutan dan Gunung
Seorang
awam (tidak memiliki cukup penagalaman di hutan dan gunung) mungkin
segera akan menilai bahwa bahaya dihutan adalah sbb :
`Hutan
dan gunung adalah wilayah berkeliarannya binatang-binatang buas
pemangsa yang setiap detik siap memangsa manusia yang memasuki
wilayahnya. Tumbuh-tumbuhan yang lebat saling berbelit dan rimbunnya
dedaunan akan menghambat sinar matahari dan menimbulkan kegelapan yang
segera akan menyesatkan arah perjalanan kita. Legenda tentang batang
kayu besar yang tumbang serta dipenuhi lumut dan ketika seseorang
menancapkan lumut atasnya segera menyemburlah darah. Dan batang kayu itu
menggeliat; ternyata batang kayu itu adalah tubuh seekor ular yang
sangat besar yang segera akan marah dan menelan manusia yang
menyakitinya. Bayang-bayangan sejenis itu adalah wajar dimiliki oleh
seorang awam. Sebagian ada benarnya tapi sebagian lagi adalah hal-hal
yang sangat dilebih-lebihkan’
Tetapi
bagi orang yang telah berpuluh-puluh kali mengalami perjalanan di hutan
dan gunung ternyata sebahagian besar belum pernah bertemu dengan
binatang buas seperti yang ditakautkan (walau mengkin sesungguhnya salah
seorang dari mereka pernah bertemu, tetapi binatangnya buas itu segera
menghindar karena mendengar suara manusia sehingga tak terlihat).
Penagalaman2 yang lebih pasti dialaminya adalah mereka pasti selalu
bertemu debgan nyamuk-nyamuk yang berusaha menghisap darahnya.
Seandainya salah seekor nyamuk yang menggigitnya berpotensi menularkan
malaria, demam berdarah ataupun penyakit kaki gajah, tentu saja hal ini
sudah merupakan potensi bahaya yang dapat berakibat sama fatalnya dengan
serangan binatang buas. Hujan, angin, dan udara dingin adalah contoh
lain dari hambatan-hambatan yang paling sering ditemui, dimana bila
menjadi extreme dapat menjadi bahaya atau potensi bahaya yang tidak
kalah fatalnya. Banyak lagi hal-hal lain yang karena mungkin belum
pernah dialami atau terlihat dapat menjadi potensi bahaya, menjadi
terabaikan. Atau mungkin juga sesuatau hal yang dilingkungan kehidupan
normal dapat dianggap hal yang biasa terjadi dikarenakan
fasilitas-fasilitas pendukung yang memadai, tidak disadri dapat
merupakan bahaya atau berpotensi menjadi bahaya fatal dalam perjalanan
di hutan dan gunung : misalnya luka-luka kecil yang bisa terkena infeksi
bila tidak terawat dengan baik.
Tentu
saja membahas bentuk-bentuk bahaya yang mungkin dihadapi di hutan fdan
gunung dengan cara diatas akan menjadi bertele-tele, berbelit dan sangat
tidak sistematis. Untuk itu marilah kita mencoba membahas secara lebih
sistematis bahaya-bahaya yang mungjkin kita hadapi di hutan dan gunung.
Kelompok-kelompok Bahaya di Hutan dan Gunung.
1. Bahaya Objectif
a) Kondisi Bentuk Permukaan Bumi (Terrain);
Apakah
Terrain berpemukaan: datar, curam, patahan-patahan, tonjolan-tonjolan
dan gabungan dari beberapa bentuk. Masing-massing memiliki bahaya
sendiri-sendiri. Apakah kondisi permukaan itu terbentuk oleh tanah
padat, gembur, berair, becek, rawa, sungai, pasir, kerikil bulat, krikil
tajam, batuan lepas, batuan padat dan serterusnya. Masing- masing juga
memeiliki sifat-sifat tersendiri yang tentunya memeiliki potensi-potensi
bahaya.
b) Bentuk-bentuk Kehidupan (living Form);
•
Kehidupan Binatang: Mulai kehidupan Micro organisme yang sederhana
hingga binatang-binatang besar dapat menjadi potensi bahaya. Secara umum
potensi itu adalah :
- Dapat menimbulkan penyakit.
- Dapat menularkan penyakit.
- Beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit.
- Beracun bila dimakan.
- Karena ukurannya besar dapat berbahaya bila menyerang.
- Binatang besar pemangsa.
- Minimbulkan/mengeluarkan zat-zat kimia yang membuat sangat tidak nyaman.
• Tumbuh-tumbuhan
Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tumbuhan adalah : ‘
Kerapatan tumbuhan dapat menghambat dan mencederai kita dalam pergerakan.
Kerapatan tumbuhan dapat menghambat jarak dan keleluasaan pandangan (visibility) sehingga menyulitkan orientasi.
Mempunyai duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai kita.
Mengandung racun bila dimakan.
Tetapi
harus dicatat, dalam situasi survival ada tidaknya binatang dan
tumbuhan yang dapat kita manfaatkan juga merupakan problem bagi kita
untuk sumber makakan, shelter, bahan bakar, perlengkapan pengganti dll.
c) Iklim dan Cuaca
Iklim
yang merupakan gambaran umum musim-musim yang terjadi disuatu daerah
tertentu dalam periode waktu satu tahun mungkin lebih mudah
doiperkirakan. Tetapi cuaca yang berkaitan dengan: temperatur,
kelembaban dan pergeerakan udara akan lebih sulit diperkirakan. Ketiga
hal itu sangat berkaitan dengan kemampuan tubuh kita yang mempunyai
keterbatasan untuk dapat berfungsi normal. Hal-hal yang dapat menjadi
potensi bahaya dari kondisi cuaca adalah :
- Temprertur Tinggi, yang berkaitan debngan terik matahari dapat menyebabkan Heatstroke dan Sunstroke.
- Temperature rendah, basah, angin, dan kombinasinya dapat menyebabkan Hypotermia.
- Basah terus-menerus dapat menyebabkan bagian telapak kaki mengalami
Water immersion foot (seperti kena kutu air). Akan mudah lecet dan
peluang terinfeksi menjadi lebih besar.
- Potensi-potensi bahaya lain yang diakibatkan oleh cuaca misal: angin
yang sangat besar dapat mematahkan batang2 pohon besar yang bisa
mencederai kita, curah hujan yang tinggi dapat menghambat pergerakan dan
jarak pandang. Curah hujan yang sangat extreme mempunyai potensi bahaya
tersendiri. Demikian juga kekeringan yang extreme
d) Ketinggian
Tinggi
rendahnya suatu tempat dari atas permukaan laut, akan berkaitan dengan
besarnya tekanan udara di tempat itu. Disekitar ketinggian sejajar
dengan permukaan laut tekanan udara besarnya kurang lebih 1 Atmosfir
(atm), pada 500 Meter Diatas Permukaan Laut (mdpl) tekanan udaranya
hanya kurang lebih 50%nya. Besarnya tekanan disebabkan massa udara yang
lebih besar. Dengan kata lain materi yang membentuk udara lebih banyak.
Makin kecil tekanannya, makin sedikit materi yang membentuknya. Oksigen
yang kita butuhkan ada kurang lebih 20% dari materi yang membentuk
udara. Dengan demikian makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut
makin sedikit jumlah oksigen dari setiap liter yang terhisap paru-paru
kita. Tubuh kita membutuhkan waktu untuk beraklimatisasi dengan kondisi
ini. Kurangnya waktu aklimatisasi dapat menimbulkan gangguan pada
kesehatan tubuh kita, yaitu apa yang disebut Mountain Sickness, yang
bila berlanjut dari kondisi Hypoxia dapat berkembang menjadi
Pulmonaryedema dan atau Cerebraledema. Bahkan diatas ketinggian yang
berkisar mulai diatas 5000 mdpl, tubuh kita tidak mampu beraklimatisasi
secara permanaen. Hanya dalam batasan waktu tertentu tubuh kita dapat
bertahan. Daerah diatas ketinggian itu sering juga disebut “Death Zone”
dimana tidak ada makhluk hidup yang dapat beraklimatisasi permanent
disana. (Can u follow it…?)
e) Besaran Jarak dan Waktu
Besarnya
jarak biasanya berkaitan dengan lamanya waktu tempuh, walau tingkat
kesulitan medan (berkaitan dengankondisi Terrain, Living Form, Iklim dan
cuaca, ketinggian) ikut berpengaruh. Secara sederhana dapat dilihat
bahwa makin besar jarak dan waktu makin rumit rencana perjalan yang
harus kita buat. Banyak masalah- masalah yang harus kita pertimbangkan
seperti misalnya : masalah perbekalan, navigasi, kesehatan, shelter,
peralatan, tekanan- tekanan/stress (fisik dan psikis) yang mungkin
dialami dst. Makin rumit rencana perjalanan yang harus kita
pertimbangkan, ada kemungkinan makin besar faktor-faktor kesalahan yang
terjadi. Faktor- faktor kesalahan yang ini dapat berkembang pada
pelaksanaanya menjadi potensi bahaya.
f) Kondisi Akibat/Pengaruh
Yang
dimaksud dengan kondisi akibat atau pengaruh adalah suatu kondisi yang
pada umumnya/biasanya tidak merupakan potensi bahaya, tetapi akibat
pengaruh tertentu menjadikannya sebagai potensi atau bahaya. Beberapa
contoh misalnya :
-
Adanya bangkai binatang besar diatas aliran sungai yang sangat jernih
dihutan atau digunung yang kita gunakan sebagai sumber air.
- Adanya ganggang beracun pada genangan air tetrentu yang kita anggap sebagai sumber air yang baik.
-
Munculnya gas beracun di wilayah gunung berapi dimana biasanya wilayah
tersebut aman. Hal ini mungkin akibat aktivitas gunung berapi
beraktivitas diluar normalnya.
-
Jenis-jenis ikan tertentu yang biasanya tidak beracun menjadi ikan
beracun bila dikonsumsi akibat adanya kandungan mineral tertentu atau
micro organisme tertentu diperairan habitatnya.
- Dan contoh lainnya.
g) Kondisi Sosial Budaya
“Lain
padang lain belalangnya, lain lubuk lain pula ikannya”, demikian kata
peribahasa. Setiap daerah memang memiliki adat-istiadat tersendiri.
Kesalahan kita dalam menghargai adat istiadat setempat dapat menimbulkan
kesalahpahaman. Rasa tidak suka, penolakan terhadap kehadiran kita akan
menimbulkan ketidaknyamanan dan atau rasa tidak aman pada diri kita.
Hal ini bila berlanjut dapat menjadi potensi bahaya yang tidak jarang
pula menjadi bahaya. Tidak jarang pula masyarakat pedalaman yang akan
merasa tidak aman bila wilayahnya dimasuki orang asing. Bagi kita sikap
mereka sering kita anggap agresif, yang sesungguhnya itu adalah
manifestasi dari rasa tidak aman itu. Pendekatan yang cermat perlu kita
lakukan agar situasi itu tidak menjadi potensi bahaya.
2. Bahaya Subjektif
a. Kondisi Kebugaran (fitness)
Subject
: Berkegiatan di alam terbuka dalam tingkatan tertentu menuntut
kebugaran tubuh pelakunya. Tidak saja sitem peredaran darahnya (cardios
culary), metabolisme tubuh, kekuatan otot-ototnya, tetapi juga daya
pertahanan tubuhnya terhadap perubahan-perubahan cuaca (berkaitan dengan
temperatur, kebasahan angin). Sering juga berkegiatan di gunung dan
hutan mengharuskan kita melakukan irama dan siklus kehidupan yang tidak
teratur. Atau setidaknya tidak sebagaimana pada kehidupan kita
sehari-hari. Situasi dan kondisi ini dapat menjadi potensi bahaya
apabila kebugaran tubuh pelaku tidak dapat memenuhi sebagaimana yang
dituntut kegiatan itu.
b. Kondisi Kemampuan Tekhnis (Technical Skills)
Subyek
: Sebentuk pengetahuan dan keterampilan tekhnis tentu saja dituntut
dalam berkegiatan di gunung dan hutan. Keterampilan untuk dapat bergerak
dengan efisien serta efektif, mengontrol keseimbangan dan irama gerak
tubuh serta beristirahat secara efektif tapi efisien. Hal ini juga harus
ditunjang dengan pengetahuah apa saja, peralatan pembantu yang
dibutuhkan secara tepat, serta penggunaanya secara benar untuk
membantunya bergerak atau beristirahat. Pengetahuan dan keterampilan
menjaga kesehatan, kebugaran tubuh dan bagaimana mengatasi bila tergangu
juga dituntut. Tidak mendukungnya kemampuan tekhnis pelaku, akan
menjadi sebentuk potensi bahaya.
c. Kondisi Kemampuan Kemanusiaan (Human Skills)
Sebentuk
kondisi kemampuan kemanusiaan juga dituntut dalam berkegiatan di alam
bebas. Apa yang sering kita dengar sebagai mental yang kuat dan emosi
yang stabil itu yang dituntut. Tetapi uraian dari mental yang kuat itu
sendiri jarang kita dengar. Pengertian mental itu sendiri adalah
bagaimana “sikap berfikir kita dalam mengontrol aksi gerak
tubuh/tindakan kita”. Dengan kata lain bagaimana kita terhadap sebentuk
situasi dan kondisi: Menilai, Menganalisa, Merasionalisasikannya,
Mengambil/Menentukan keputusan, serta Melaksanakan keputusan itu.
Hal-hal diatas terntu saja menuntut sebentuk perilaku positif manusia.
Seperti : Leadership, Judgement, Determination, Integrity,
Patience/Kecermatan, dan seterusnya untuk dapat melaksanakannya dengan
baik. Emosi adalah sebentuk reaksi perasaan yang timbul bila menghadapi
situasi dan kondisi tertentu. Dapat dianggap sebagai suatu kewajaran,
tetapi tidak jarang sesungguhnya tidak bersifat rasional. Rasa Takut,
Kesal, Kesepian, Patah Semangat, Frustasi, adalah contoh-contoh yang
dapat berkembang menjadi potensi bahaya.
d. Kondisi Kemampuan Pemahaman Lingkungan (Enviromental Skills)
Pamahaman
akan segala bentuk sifat dan karakter dari lingkungan gunung dan hutan
dituntut bagi pelaku yang berkegiatan disana. Segala sifat dan karakter
lingkungan yang dapat menjadi potensi bahaya harus bisa dinilainya;
tetapi sifat dan karakter yanhg dapat dimanfaatkan harus pula dapat
dipahaminya. Sifat dan karakter lingkungan itu bukan dianggap sebagai
musuh, tetapi bagaimana ia harus mampu bernegosiasi dengan segala
kemampuan yang dimilinya. Ketidakmampuan memahami segala karakter dan
sifat lingkungan dimana ia berkegiatan akan dapat menimbulkan potensi
bahaya.
3. Nasib Buruk dan Baik
Hal
utama dari sikap pendekatan kita terhadap nasib baik dan buruk mungkin
yang terbaik adalah sebagai berikut: Adanya nasib buruk adalah sesuatu
yang tak dapat dihindari. Apabila terjadi pada kita, terimalah sebagai
suatu realita bukan dengan reaksi emosi yang negatif seperti : Kesal,
Menyesali, Marah dst. Hal terpenting yang harus kita lakukan adalah
bagaimana kita dapat mengatasinya dengan bijak dan tepat. Mendapatkan
nasib baik harus kita sadari hanya benar-benar sebuah keberuntungan. Hal
ini jangan kita jadikan sandaran untuk tindakan-tindakan atau
kegiatan-kegiatan selanjutnya. Tidak rela menerima adanya nasib buruk
dan tidak menyadari itu hanyalah sebuah keberuntungan, akan menjadi
suatu potensi bahaya bagi kita.
Penyeberangan Basah.
Ada beberapa teknik/tips dalam melakukan penyeberangan disungai :
1.Carilah Jembatan
2.Jika
jembatan tidak ada jangan berharap ada yang mau buatkan jadi carilah
daerah aliran sungai tak beriak, deras dan dalam biasanya semakin ke
hulu aliran sungai seperti itu ada
3.Jika
kalian menyeberangi sungai dan ada tali, ada yang tau berenang ada juga
tidak maka itu yang tau berenang menyeberang kesebelah dengan diikat
tali lalu tali tali itu di tambatkan sudah itu nyebrang mako
4.Pada
saat menyeberang sungai kalian bisa membawa tongkat untuk menjaga
keseimbangan dan juga berguna untuk mengukur kedalaman air
Ingatlah
jika menyeberang sungai jangan pernah membelakangi arah arus air
hadapilah walau itu deras karena kalian akan jauh lebih kokoh dan
lintasan jalur yang kalian lalui ada baiknya diagonal begitupun jika
kalian menyeberang secara tim.
Selamat Mendaki !!!!!